Siapa
yang pernah menonton 3 idiots? Banyak.
Siapa yang suka film itu?
Banyak yang suka.
Tetapi siapa yang sebenarnya mengambil pelajaran
paling cemerlang dari film itu? Entahlah, siapa yang mengambil
manfaatnya.
Ada
ibu-ibu dengan anak gadis yang siap menikah. Menonton 3 idiots,
ibu-ibu ini sampai menangis. Tapi saat anaknya bilang mau menikah,
dan hanya akan jadi ibu rumah tangga saja, ibu-ibu langsung bergegas
bilang “nggak boleh, enak saja saya sekolahkan tinggi-tinggi hanya
untuk jadi ibu rumah tangga!”. Lihatlah jawaban itu menunjukan sama
sekali tidak berbekas pemahaman yang datang dari film yang barusan
ditontonnya.
Kita
ini sekolah tinggi-tinggi buat apa sih?
Buat nyari pekerjaan keren?
Buat jadi pegawai? PNS? Buat nyari rezeki?
Keliru kalau jawabnya iya.
Saya membuka kitab-kitab, membaca buku-buku tua, menelusuri kesemua
hal, tidak ada satupun nasehat yang bilang: sekolahlah tinggi-tinggi
agar besok jadi pejabat, kaya raya, dan berbagai ukuan duniawi
lainnya, dan sebagainya, dan sebagainya. Apalagi kalau membuka kitab
yang tak pernah keliru, Al Quran. Juga merujuk nasihat yang tidak
akan pernah salah, riwayat Rosul. Seruan untuk belajar, tidak ada
rumusnya dengan ukuran duniawi.
Kita
disuruh belajar, mencari ilmu (dalam dunia yag sangat modern ini
ukurannya SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 dst), murni agar kita banyak tahu,
asli agar kita paham banyak hal, dan ilmu itu B-E-R-M-A-N-f-A-A-T
bagi kehidupan kita sehari-hari.
Seorang
istri yang S3, tidak masalah tetap menjadi ibu rumah tangga, dan
ilmunya bisa bermanfaat untuk keluarganya. Ilmunya bisa bermanfaat
buat tetangga sekitar, aktivitas apa saja yang bisa dia lakukan,
terlepas mau bekerja diperusahaan/pemerintahan atau hanya bekerja
dirumah.
Itu
benar, saya tidak akan membantahnya, memang ada korelasi kuat antara
berpendidikan dengan masa depan cerah, tapi definisi ‘masa depan
cerah’ itu bukan semata-mata ukuran duniawi yang membuat proses
belajar selama ini jadi kosong. Bukan hanya itu.
Maka,
kembali ke film 3 idiot tadi, bukankah Rancho hanya belajar dan
belajar. Dia senang belajar, dia senang mencari ilmu, titik. Sisanya,
serahkan pada nasib. Dia tidak peduli gelar, dia tidak peduli mau
bekerja jadi apa, dia tidak peduli. Bahkan dia harus menyingkir dari
‘kehidupan’, pergi menjauh dari gemerlap banyak hal, justru
kehidupan dan gemerlapnya dunia yang datang padanya.
Sementara
silencer, teman kuliahnya dulu yanng selalu berhitung atas
duniawinya, merasa sudah memenangkan segalanya, ternyata kosong saja,
dia hanyalah orang yang amat bergantung nasibnya dengan orang lain.
Takut dipecat kerja, tergantung nafkahnya dari orang lain, dan
diperbudak oleh materi. Sejatinya Silencer hanya orang ‘suruhan’,
terutama suruhan ambisi dan nafsu duniawi meskipun direktur sekalipun
posisinya.
Aduh,
bukankah rumus ini banyak terjadi disekitar kita? Ada banyak teladan
yang memilih sibuk belajar, belajar, bekerja, bekerja, dan terus
menjadi yang terbaik, mau jadi apapun dia bahkan sekedar ibu rumah
tangga, hidupnya ternyata tetap spesial, bermanfaat bagi banyak
orang.
Sebaliknya
banyak sekali yang sibuk menghitung nilai rapot, mengitung sekolah
yang elit, keren, saya sudah S2, S3 situ apa sih? Saya sekolah
dikampus ngtop, situ dimana sih? Ternyata tidak pernah lepas dari
kungkungan hidupnya, meskipun boleh jadi secara kasat mata sukses
menurut ukuran duniawi saat ini.
*Repost TL
*Repost TL
Dan
inilah yang orang tua tekankan pada kami, sekolah untuk mencari ilmu.
Juara, ranking, dan nilai tinggi bukan ukuran kepandaian seseorang.
Besok atau lusa, bekerjalah dengan ikhlas. Jadi apapun, berapapun
gajinya, yag penting kita pekerjaan tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar