Kamis, 23 Maret 2017

Buat Apa Sekolah???


Siapa yang pernah menonton 3 idiots? Banyak.
Siapa yang suka film itu? Banyak yang suka.
Tetapi siapa yang sebenarnya mengambil pelajaran paling cemerlang dari film itu? Entahlah, siapa yang mengambil manfaatnya.

Ada ibu-ibu dengan anak gadis yang siap menikah. Menonton 3 idiots, ibu-ibu ini sampai menangis. Tapi saat anaknya bilang mau menikah, dan hanya akan jadi ibu rumah tangga saja, ibu-ibu langsung bergegas bilang “nggak boleh, enak saja saya sekolahkan tinggi-tinggi hanya untuk jadi ibu rumah tangga!”. Lihatlah jawaban itu menunjukan sama sekali tidak berbekas pemahaman yang datang dari film yang barusan ditontonnya.

Kita ini sekolah tinggi-tinggi buat apa sih?
Buat nyari pekerjaan keren?
Buat jadi pegawai? PNS? Buat nyari rezeki?
Keliru kalau jawabnya iya. Saya membuka kitab-kitab, membaca buku-buku tua, menelusuri kesemua hal, tidak ada satupun nasehat yang bilang: sekolahlah tinggi-tinggi agar besok jadi pejabat, kaya raya, dan berbagai ukuan duniawi lainnya, dan sebagainya, dan sebagainya. Apalagi kalau membuka kitab yang tak pernah keliru, Al Quran. Juga merujuk nasihat yang tidak akan pernah salah, riwayat Rosul. Seruan untuk belajar, tidak ada rumusnya dengan ukuran duniawi.

Kita disuruh belajar, mencari ilmu (dalam dunia yag sangat modern ini ukurannya SD, SMP, SMA, S1, S2, S3 dst), murni agar kita banyak tahu, asli agar kita paham banyak hal, dan ilmu itu B-E-R-M-A-N-f-A-A-T bagi kehidupan kita sehari-hari.

Seorang istri yang S3, tidak masalah tetap menjadi ibu rumah tangga, dan ilmunya bisa bermanfaat untuk keluarganya. Ilmunya bisa bermanfaat buat tetangga sekitar, aktivitas apa saja yang bisa dia lakukan, terlepas mau bekerja diperusahaan/pemerintahan atau hanya bekerja dirumah.

Itu benar, saya tidak akan membantahnya, memang ada korelasi kuat antara berpendidikan dengan masa depan cerah, tapi definisi ‘masa depan cerah’ itu bukan semata-mata ukuran duniawi yang membuat proses belajar selama ini jadi kosong. Bukan hanya itu.

Maka, kembali ke film 3 idiot tadi, bukankah Rancho hanya belajar dan belajar. Dia senang belajar, dia senang mencari ilmu, titik. Sisanya, serahkan pada nasib. Dia tidak peduli gelar, dia tidak peduli mau bekerja jadi apa, dia tidak peduli. Bahkan dia harus menyingkir dari ‘kehidupan’, pergi menjauh dari gemerlap banyak hal, justru kehidupan dan gemerlapnya dunia yang datang padanya.

Sementara silencer, teman kuliahnya dulu yanng selalu berhitung atas duniawinya, merasa sudah memenangkan segalanya, ternyata kosong saja, dia hanyalah orang yang amat bergantung nasibnya dengan orang lain. Takut dipecat kerja, tergantung nafkahnya dari orang lain, dan diperbudak oleh materi. Sejatinya Silencer hanya orang ‘suruhan’, terutama suruhan ambisi dan nafsu duniawi meskipun direktur sekalipun posisinya.

Aduh, bukankah rumus ini banyak terjadi disekitar kita? Ada banyak teladan yang memilih sibuk belajar, belajar, bekerja, bekerja, dan terus menjadi yang terbaik, mau jadi apapun dia bahkan sekedar ibu rumah tangga, hidupnya ternyata tetap spesial, bermanfaat bagi banyak orang.

Sebaliknya banyak sekali yang sibuk menghitung nilai rapot, mengitung sekolah yang elit, keren, saya sudah S2, S3 situ apa sih? Saya sekolah dikampus ngtop, situ dimana sih? Ternyata tidak pernah lepas dari kungkungan hidupnya, meskipun boleh jadi secara kasat mata sukses menurut ukuran duniawi saat ini.


*Repost TL 

Dan inilah yang orang tua tekankan pada kami, sekolah untuk mencari ilmu. Juara, ranking, dan nilai tinggi bukan ukuran kepandaian seseorang. Besok atau lusa, bekerjalah dengan ikhlas. Jadi apapun, berapapun gajinya, yag penting kita pekerjaan tersebut.